IKRAR Lamteh merupakan satu episode dalam sejarah perjuangan DI/TI di Aceh. Ikrar tersebut adalah perjanjian perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia. Ikrar digelar  di desa Lamteh tahun 1957 Masehi (sekarang menjadi salah satu desa di Kecamatan Pekan Bada, Aceh Besar).
Salah satu poin dalam perjanjian tersebut yaitu kedua belah pihak menyatakan berdamai dan tidak lagi melakukan peperangan. Selain itu, hal yang terpenting adalah Keresidenan Aceh yang sebelumnya di bawah Sumatera Utara, dikembalikan lagi Provinsi Otonomi Aceh, Daerah Istimewa Aceh.
Sabtu 13 Oktober 2012, atjehpost.com mengunjungi desa Lamteh. Dengan menggunakan sepeda motor, hanya butuh waktu sekitar 20 menit dari pusat kota Banda Aceh. Tidak begitu sulit menemukan lokasi yang dijadikan tempat ikrar tersebut. Ia berada persis di jalan lintas Lamteh – Ujong Pancu. Tepatnya di ujung sebuah jembatan yang setelah bencana tsunami 2004 lalu mulai dijadikan sebagai lokasi wisata memancing.
“Balai Ikrar Lamteh”, begitu tertera tulisan pada pintu gerbang sebuah balai. Halamannya dipenuhi ilalang yang tumbuh liar. Tumpukan papan dan balok yang berserak memberi kesan bahwa balai tersebut adalah ‘panglung kayu’. Di belakang balai ada hamparan tambak yang telah menyatu dengan laut. Terdapat sebuah tempat pembuatan perahu di sana. Tumpukan papan dan kayu itu ternyata adalah bahan baku pembuatan perahu. Sekitar 20 meter dari balai terdapat beberapa warung dan kedai.
Di balai terdapat sebuah tugu bertuliskan isi Ikrar Lamteh, “Disinoe keuh keuseupakatan dame antara pihak Darul Islam Indonesia ngon Peumeurintah Indonesia bak thon 1957 M. Oeh lheuh Ikrar Lamteh, keuresidenan Aceh nyang watee nyan keuresidenan miyup Sumatera Utara jeut keu provinsi Aceh teuma.”
Namun, warga Desa Lamteh mengatakan balai tersebut bukanlah lokasi yang dipakai saat “Ikrar Lamteh”. “Itu hanya sekolah TK (Taman Kanak-kanak) yang setelah tsunami direhab dan dibuat menjadi balai ikrar Lamteh,” ujar Bakhtiar, seorang warga.
Lokasi sebenarnya yang dipakai saat perjanjian itu, manurut Bakhtiar, adalah sebuah rumah yang letaknya beberapa ratus meter dari balai tersebut,  “Perjanjian Lamteh dilakukan di rumah Pawang Leman,” kata dia.
Pawang Leman sendiri, menurut Bakhtiar adalah salah seorang tokoh DI/TI yang ketika itu berani menjadi tuan rumah untuk penanda anganan perdamaian. “Saat beberapa orang ragu untuk memilih lokasi ikrar, Pawang Leman menawarkan rumahnya,” ujar lelaki tersebut.
Mengenai keputusan “menyulap” TK sebagai balai Ikrar Lamteh, kata Bakhtiar, karena pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca Tsunami Aceh 2004 lalu, pihak keluarga Pawang Leman tidak berada di Aceh. Saat NGO datang menawarkan sebuah bangunan sebagai monumen peristiwa Ikrar Lamteh, pihak aparat desa tidak berani memberi izin untuk pendirian di lokasi rumah Pawang Leman. Maka, kata Bakhtiar, aparat desa memutuskan menunjuk lokasi TK tersebut karena itu merupakan tanah desa.[yas]


sumberrhttp://atjehpost.com/read/2012/10/13/24040/0/39/Menziarahi-Monumen-Ikrar-Lamteh

0 Responses to " "

About the author

This is the area where you will put in information about who you are, your experience blogging, and what your blog is about. You aren't limited, however, to just putting a biography. You can put whatever you please.